Langsung ke konten utama

Penjelasan tentang takwa


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengertian Takwa Menurut Bahasa
Menurut bahasa, takwa berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara diri dari siksaan Allah Swt. yaitu dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (Imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi).
Takwa (taqwa) berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara, yakni menjaga diri agar selamat dunia dan akhirat.Kata Waqa juga bermakna melindungi sesuatu, yakni melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan.
Pengertian Takwa Menurut Istilah
Pengertian takwa menurut istilah yang terdapat dari banyak sumber , termasuk Al-Quran, Hadits, dan pendapat sahabat serta para ulama. Semua pengertian takwa itu mengarah pada satu konsep,yakni melaksanakan semua perintah Allah, menjauhi larangannya, dan menjaga diri agar terhindari dari api neraka atau murka Allah SWT.
Ibn Abbas mendefinisikan takwa sebagai "takut berbuat syirik kepada Allah dan selalu mengerjakan ketaatan kepada-Nya" (Tafsir Ibn Katsir).
Ketika Abu Dzarr Al-Ghifari meminta nasihat kepada baginda Rasulullah, maka pesan paling pertama dan utama yang beliau sampaikan kepada sahabatnya itu adalah takwa. Rasulullah Saw bersabda: "Saya wasiatkan kepadamu, bertakwalah engkau kepada Allah karena takwa itu adalah pokok dari segala perkara." (Tanbihul Ghofilin, Abi Laits As-Samarkindi).
Imam Qurthubi mengutip pendapat Abu Yazid al-Bustami, bahwa orang yang bertakwa itu adalah: "Orang yang apabila berkata, berkata karena Allah, dan apabila berbuat, berbuat dan beramal karena Allah."
Abu Sulaiman Ad-Dardani menyebutkan: "Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang kecintaan terhadap hawa nafsunya dicabut dari hatinya oleh Allah."
Ibn Qayyim al-Jauziyyah menegaskan, bahwa hakikat taqwa adalah taqwa hati, bukan takwa anggota badan." (Al-Fawaid).

Pengertian Takwa Menurut Al-Quran dan Hadits
Pengertian takwa menurut sahabat Nabi Saw dan ulama di atas tentu saja merujuk pada Quran dan Hadits. Al-Quran menyebutkan, takwa itu adalah beriman kepada hal gaib (Yang Mahagaib: Allah SWT), Hari Akhir, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, beriman pada kitab-kitab Allah, dengan menjadikan Al-Quran sebagai pedoman dalam menjalankan hidupnya (QS. Al-Baqarah:2-7).
Menurut hadits Nabi Saw, pengertian takwa berintikan pelaksanaan perintah Allah SWT atau kewajiban agama. "Laksanakan segala apa yang diwajibkan Allah, niscaya kamu menjadi orang yang paling bertakwa". (HR. Ath-Thabrani).

B. Rumusah Masalah


1. Apa Pengertian Dari takwa ?
2. Bagaimana Sifat-sifat Manusia yang Bertakwa ?
3. Apa Kabar Gembira Bagi Orang yang Bertakwa?
4. Dimanakah Letak takwa ?
5. Apa sajakah Faktor-faktor Menuju Ketakwaan?







































PEMBAHASAN

1. Apa Pengertian dari Takwa

Takwa kepada Allah Swt.  Adalah perisai dari murka dan kebencian serta siksaan-Nya. Takwa merupakan perbuatan taat kepada Tuhan dan meninggalkan maksiat.
Karena pentingnya peran takwa dalam kehidupan Muslim dan Muslimah, Allah Taala berpesan kepada kita dan kepada orang sebelum kita tentang takwa ini. ALLAH Swt. Berfirman;

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ

Dan sesungguhnya kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang di beri kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah.(QS An-Nisa[4]:131)

Dengan demikian,takwa kepada Allah Swt. Adalah pesan bagi orang-orang terdahulu dan juga orang-orang sekarang ini.
Allah Swt. Telah menjelaskan bahwa takwa adalah hal yang paling baik yang patut di jadikan bekal oleh seorang mukmin dan mukminah di dunia ini.

Dalam Minhajul abidin Al Ghazali membagi definisi taqwa menjadi tiga :;

• Pertama,takut kepada Allah Swt.sepeti dalam firman-Nya:
Dan hanya kepada akulah kamu bertakwa(QS Al-Baqarah[2]:41)

• Kedua,takwa bermakna taat dan penghambaan.Artinya taatlah kepada Allah Swt.sebenar-benarnya taat,seperti dalam firman-Nya:
Hai orang-Orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam.(QS Al-Imran[3]:102)
• Ketiga,takwa bermakna kesucian hati dari dosa dan maksiat.

Makna yang demikian ini banyak dipakai dalam ayat-ayat Al-Qur’an.ketika kita berupaya mengenali arti takwa kepada Allah ,ternyata orang terdahulu berupaya memaksimalkan mendefinisikan takwa tersebut,berikut ini sebagian dari definisi mereka :

Menurut Abdullah bin Mas ud r.a. “takwa adalah taat tanpa maksiat,mengingat tanpa pernah lupa,dan bersyukur tanpa pernah mengingkari.”

Menurut Anas r.a. “tidak dianggap taat kepada Allah sebenar-benarnya taat hingga dia menahan lisannya (tidak berbicara hal yang sia-sia).

Menurut Umar bin Abdul Aziz “ takwa bukan hanya puasa di waktu siang dan bangun malam atau gabungan dari keduanya. Takwa kepada Allah adalah meninggalkan yang di haramkan dan melaksanakan yang diwajibkan-Nya. Barang siapa mendapatkan kebaikan ini,maka dia akan selalu mendapat kebajikan”


2. Sifat-sifat Manusia yang bertakwa

Dari berbagai uraian para ulama yang bersumberkan dari Al-Quran dan hadits maka dapat kita ketahui beberapa sifat-sifat yang utama (ummul muwasofat) dari orang bertaqwa adalah :


A. Takut kepada Allah Swt.

Sebagian ‘ulama mendefinisikan “taqwa” sebagai “makhafatullahi wal-’amalu bi tha’atihi”; artinya: “Rasa takut kepada Allah, dan melaksanakan keta’atan kepada-Nya”. Karena hanya dengan hati yang takut dan diri yang tunduk kepada Allah, manusia bisa menjalankan segala perintah Allah serta menjauhi larangan Allah.

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS An-Naaziaat:40-41)

“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.”( QS An-Nuur :52)

Sabda Rasulullah SAW :
“Tidak ada sesuatu yang yang lebih dicintai oleh Allâh daripada dua tetesan dan dua bekas. Tetesan yang berupa air mata karena takut kepada Allâh dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allâh. Adapun dua bekas, yaitu bekas di jalan Allâh dan bekas di dalam (melaksanakan) suatu kewajiban dari kewajiban-kewajiban-Nya”.

Kholifah Ali bin Abi Tholib pernah ditanya tentang takwa, lalu beliau menjawab: Takut kepada Allah, beramal dengan wahyu (Al Qur’an dan Sunnah) dan ridho dengan sedikit serta bersiap-siap untuk menhadapi hari kiamat.

Sahabat Ibnu Abas menyatakan: Orang yang bertakwa adalah orang yang takut dari Allah dan siksaan-Nya.

Rasa takut kepada Allah Swt. berbeda dengan rasa takut kepada hal lain yang ditakuti misalnya hewan buas atau keadaan alam. Rasa takut kepada Allah merupakan energy positif yang justru menyebabkan kita ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT karena di dalam rasa khauf (takut) ada roja (pengharapan) kepada Allah SWT.


B. Bersyukur kepada Allah SWT.

Rasa syukur adalah salah satu sifat orang yang bertakwa karena dengan rasa syukur seorang yang bertakwa menyadari bahwa apa yang ia peroleh apapun bentuknya berupa kesehatan, keamanan, harta kekayaan dan lain-lain adalah semata-mata karunia Allah SWT.

Al-Quran banyak memberikan pelajaran kepada kita tentang sikap syukur yang dimiliki oleh orang-orang yang bertakwa misalnya Nabi Sulaiman yang dikenal mempunyai harta yang banyak dan ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Seperti yang dijelaskan dalam QS. An-Naml ayat 40 yang artinya:  Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”.

Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni`mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.

Rasulullah ketika ditanya oleh Aisyah mengapa melakukan sholat malam dengan lama sehingga kaki beliau bengkak, beliau menjawab dengan pertanyaan : Afalaa akuuna abdan syakuraa (tidak bolehkah aku menjadi hamba-Nya yang bersyukur).


C. Berhati-hati di dalam kehidupannya.

Sahabat Rasululllah Umar bin Al Khathab pernah bertanya kepada sahabat yang bernama Ubai bin Ka’ab tentang takwa. Ubai bertanya: Wahai amirul mukminin, Apakah engkau pernah melewati jalanan penuh duri? Beliau menjawab: Ya. Ubai berkata lagi: Apa yang engkau lakukan? Umar menjawab: Saya teliti dengan seksama dan saya lihat tempat berpijak kedua telapak kakiku. Saya majukan satu kaki dan mundurkan yang lainnya khawatir terkena duri. Ubai menyatakan: Itulah takwa !

Orang yang bertakwa senantiasa berhati-hati di dalam menjalani kehidupannya agar tidak terjerumus kepada perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT, termasuk juga perbutan yang dilarang oleh ketentuan yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara di tempat ia hidup atau tinggal.


D. Peduli kepada sesama makhluk Allah SWT.

Orang yang bertaqwa, di samping memelihara hubungan dengan Allah Swt. juga selalu memelihara hubungan dan peduli dengan sesama manusia. Ini berarti bahwa ajaran Islam mengembangkan keseimbangan dan keutuhan (tawazun dan syumuliah). Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. harus disertai dengan kebaikan yang ditebarkan kepada sesama manusia.

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”( QS An-Nisa: 36 )

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(QS Ali-Imran:133 dan 134 : )











3. Kabar Gembira Untuk Orang yang Bertakwa


Adapun manfaat dan kabar gembira dari orang yang bertakwa kepada Allah, dapat kita semua rasakan seperti ;

1. Sentiasa Mendapat Petunjuk.
“Mereka itulah (orang-orang bertaqwa) yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka dan merekalah orang-orang yang beruntung.”(Al- Baqarah :5)


2. Diberi Penyelesaian Dari Masalah.
“Dan sesiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya akan diberikan kepadanya jalan keluar.” (Al-Thalaq : 2)


3. Dipermudah Segala Urusan.
“Dan sesiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan memudahkan baginya segala urusannya.” (Al-Thalaq : 4)


4. Mendapat Rezeki Dari Sumber Tidak Terduga.
“dan memberinya (orang bertaqwa) rezeki dari sumber yang tidak terduga.” (Al- Thalaq : 3)


5. Dikasihi Allah.
“Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang bertaqwa.” (Ali Imran : 76)


6. Mendapat Keberkatan Dari Langit Dan Bumi.
“Jika seluruh penduduk sebuah negeri itu beriman dan bertaqwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berkat dari langit dan bumi.” (Al-A’raf : 96)


7. Mendapat Keselamatan, Pertolongan Dan Perlindungan Dari Allah.
“Dan Kami selamatkan orang-orang beriman dan mereka adalah orang-orang betaqwa.” (Al-Fussilat : 18)
“dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah Allah berserta (menolong dan melindungi) orang-orang bertaqwa.” (Al-Baqarah :194)


8. Mendapat Kemenangan.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan.” (An-Naba : 31)


9. Terpelihara Dari Tipu Daya Musuh.
“Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.” (Ali Imran : 120)


10. Diberikan ‘Furqan’ (Petunjuk Untuk Membezakan Yang Benar Dan Salah)
“Jika kamu bertaqwa kepada Allah, nescaya Dia akan memberikan kepadamu Furqan.” (Al- Anfal : 29)

11. Pengampunan dosa dan melipatgandakan pahala
Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. (QS.Ath Thalaaq:5)
12. dari hukuman dan siksaan
Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula) mereka berduka cita. (QS.Az Zumar:61)

13.  Mendapat taufik dan perlindungan
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS.Al Baqarah 177)

14.  Diakui kejujurannya
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.(QS. Al Baqarah 177)

15. Mendapatkan kemuliaan dan pengakuan tentang kemuliaannya
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.Al Hujuraat 13)

16.  Mendapat keuntungan
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS.Ali ‘Imran 200)

17.  Didekatkan hubungannya dengan Allah
“tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (QS.Al Hajj 37)

18.  Dihadapankan dengan berbagai cobaan
Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik” (QS.Yusuf: 90)

19.  Diterima sedekahnya“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Al Maa’idah 27)

20.  Disembuhkan dan dijernihkan jiwanya
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Al-Hajj 32)


4. Dimanakah takwa itu ?

Nabi muhammad bersabda,"At Taqwa ha huna," ( taqwa itu di sini...sambil menunjuk dada beliau ). beliau mengisyaratkan bahwa letak dari sebuah ketaqwaan adalah di dalam hati.(hr.muslim)

oleh al Ghozali hati di ibaratkan sebagai seorang raja yang menguasai seluruh anggota badan.Bila raja itu baik maka  baiklah semua pengikutnya,begitupun sebaliknya.ketaqwaan seseorang bukanlah diukur dari ibadah-ibadah lahiriyyah yang dilakukan oleh seseorang,akan tetapi lebih kepada seberapa berhasil ia memformat hatinya sehingga mampu menampung cahaya keagungan AllAh,dan mendepak segala jenis penyakit hati  yang bersarang dan anak pinak dihatinya.


5. Faktor-faktor menuju Ketakwaan
A. Mu’ahadah (Mengingat Perjanjian)
Faktor ini diambil dari firman Allah Swt.: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji…” (QS. an-Nahl: 91).
Cara Mu’ahadah
Hendaklah Anda menyendiri untuk mengintrospeksi diri seraya mengatakan pada diri: “Wahai jiwaku, sesungguhnya kamu telah berjanji kepada Tuhanmu setiap hari disaat kamu berdiri membaca: ‘Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan’.”
Wahai jiwaku, bukankah dalam munajat itu engkau telah berikrar tidak akan menghamba selain kepada Allah dan tidak akan meminta pertolongan selain kepada-Nya? Tidakkah engkau telah berikrar untuk tetap komitmen di jalan yang lurus? Tidakkah engkau telah berikrar untuk berpaling dari jalan orang-orang sesat dan dimurkai Allah?
Kalau memang demikian, berhati-hatilah wahai jiwaku. Janganlah engkau langgar janjimu setelah engkau jadikan Allah sebagai pengawasmu. Janganlah engkau mundur dari jalan yang telah ditetapkan oleh Islam setelah engkau jadikan Allah sebagai saksimu. Hati-hatilah, jangan sampai engkau mengikuti jalan orang-orang yang sesat dan menyesatkan setelah engkau jadikan Allah sebagai penunjuk jalan.
Hati-hati wahai jiwaku, jangan engkau ingkar setelah beriman. Jangan engkau tersesat setelah mendapat petunjuk. Jangan menjadi fasik setelah berkomitmen. Barangsiapa melanggar maka akibatnya menimpa dirinya.”
Saudaraku, bila Anda mengharuskan diri untuk berkomitmen terhadap janji yang diikrarkan 17 kali dalam sehari itu, kemudian Anda mewajibkan supaya Anda meniti tangga menuju ikrar tersebut, maka Anda telah meniti tangga menuju takwa. Anda sudah menelusuri jalan ruhani. Dan pada akhirnya Anda akan sampai ke tempat tujuan.




B. Muroqobah (Merasakan Kehadiran Allah)
Yaitu merasakan kehadiran Allah di setiap waktu dan keadaan, serta merasakan kebersamaan-Nya di kala sepi ataupun ramai. Landasan muroqobah dapat Anda temukan dalam surat asy-Syura ayat 218-219: “Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang ihsan, maka beliau menjawab: “Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihat kamu.”
Cara Muroqobah
Sebelum memulai suatu pekerjaan dan disaat mengerjakannya, hendaklah seorang mukmin memeriksa dirinya; apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal dan ketaatan untuk kepentingan pribadi dan mencari popularitas atau karena dorongan ridha Allah dan menghendaki pahala-Nya.
Jika benar-benar karena ridha Allah, maka ia akan melaksanakannya kendatipun hawa nafsu tidak setuju dan ingin meninggalkannya. Kemudian ia menguatkan niat dan tekad untuk melangsungkan ketaatan kepada-Nya dengan keikhlasan sepenuhnya dan semata-mata demi mencari ridha Allah.
Itulah hakikat ikhlas. Itulah hakikat pembebasan diri dari penyakit nifaq dan riya. Imam Hasan al-Bashri berkata, “Allah merahmati seorang hamba yang menghentikan hasratnya jika Allah lepas darinya. Jika tujuannya selain Allah, maka dia menangguhkannya.”
Muroqobah terbagi menjadi beberapa macam, di antaranya:
1. Muroqobah dalam ketaatan, yaitu harus tulus karena Allah.
2. Muroqobah dalam kedurhakaan, yaitu dengan taubat, penyesalan dan menghentikannya.
3. Muroqobah dalam hal mubah, yaitu dengan memperhatikan adab dan mensyukuri nikmat.

Orang yang berakal tidak layak untuk melalaikan empat waktu, yaitu:
1. Waktu dia bermunajat kepada Tuhannya
2. Waktu dia menghisab dirinya
3. Waktu dia menemui teman-temannya yang mengingatkan aibnya dan membenarkan dirinya
4. Waktu dia sendirian dengan kenikmatannya dalam hal-hal yang halal ataukah yang haram.
Yang demikian ini akan membantu waktu-waktunya yang lain dan bisa menghimpun kekuatan. Saat dia makan dan minum, tidak seharusnya melepaskan diri dari amal-amal yang lebih utama, yaitu zikir dan berpikir. Makanan yang disantapnya terkandung berbagai keajaiban, yang andaikan dia mau memikirkannya, tentu lebih baik dari sekian banyak amal-amal yang lain.

C. Muhasabah (Introspeksi Diri)
Dasar muhasabah adalah firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 18: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Makna muhasabah sebagaimana disyaratkan oleh ayat ini, ialah: Hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya ketika selesai melakukan amal perbuatan; apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan ridha Allah? Atau, apakah amalnya dirembesi sifat riya? Apakah dia sudah memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia?
Ketahuilah, bahwa seorang mukmin setiap pagi hendaknya mewajibkan diri dan meminta perjanjian untuk memperbaiki niat, melaksanakan taat, memenuhi segala kewajiban, dan membebaskan diri dari riya. Demikian pula di sore hari, semestinya ia punya waktu untuk menyendiri dengan dirinya guna memperhitungkan semua yang telah dilakukannya. Bila yang dilakukannya itu kebaikan, maka hendaklah memanjatkan puji syukur kepada Allah atas taufiknya. Apabila yang dilakukan itu bukan kebaikan, maka hendaklah ia bertaubat dan kembali ke jalan Allah; seraya menyesal, memohon ampunan, berjanji untuk tidak mengulangi, serta memohon perlindungan dalam khusnul khatimah kepada-Nya.
Umar Ra. berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan, bersiap-siaplah untuk pertunjukkan yang agung (hari kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satu pun.”
Cara Muhasabah
Hendaklah seorang muslim memperhatikan modal, keuntungan dan kerugian, agar ia dapat mengontrol apakah dagangannya bertambah atau menyusut.
Yang dimaksud dengan modal adalah Islam secara keseluruhan, mencakup segala perintah, larangan, tuntunan, dan hukum-hukumnya. Dan yang dimaksud dengan laba adalah melaksanakan ketaatan dan menjauhi larangan. Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian adalah melakukan perbuatan dosa.
Ketika seorang mukmin selalu memperhatikan modalnya, memperhitungkan keuntungan dan kerugiannya, bertaubat dikala melakukan kesalahan dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kebaikan, maka ia telah termasuk orang yang menghisab diri sebelum hari penghisaban.
Jika Anda telah menghisab diri dalam urusan yang besar maupun yang kecil, dan berusaha keras menyendiri di malam hari dengan Allah untuk melihat apa yang akan dipersembangkan di hari kiamat nanti, maka dengan demikian Anda telah melangkah menuju takwa.

D. Mu’aqobah (Pemberian Sanksi)
Landasan mu’aqobah adalah firman Allah Swt.: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”(QS. al-Baqarah: 178).
Sanksi yang kita maksudkan adalah: Apabila seorang mukmin menemukan kesalahan maka tak pantas baginya untuk membiarkannya. Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain dan akan semakin sulit untuk meninggalkannya. Bahkan sepatutnya dia memberikan sanksi atas dirinya dengan sanksi yang mubah sebagaimana memberikan sanksi atas istri dan anak-anaknya. Hal ini merupakan peringatan baginya agar tidak menyalahi ikrar, disamping merupakan dorongan untuk lebih bertakwa dan bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.
Sanksi ini harus dengan sesuatu yang mubah. Tidak boleh dengan sanksi yang haram, seperti membakar salah satu anggota tubuh, mandi di tempat yang terbuka pada musim dingin, meninggalkan makan dan minum sampai membahayakan dirinya. Allah swt. berfirman agar kita jangan sampai melakukannya: “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (QS. al-Baqarah: 195).
Ulama saleh telah memberikan teladan kepada kita tentang ketakwaan, muhasabah, menjatuhkan sanksi pada dirinya jika bersalah dan bertekad untuk lebih taat jika mendapatkan dirinya lalai atas kewajiban. Berikut ini kami sebutkan beberapa contoh:
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khaththab Ra. pergi ke kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan shalat ashar. Maka beliau berkata: “Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah shalat ashar! Kini kebunku aku jadikan sedekah untuk orang-orang miskin.”
Kisah yang lain menyebutkan. Suatu ketika Umar Ra. pernah disibukkan oleh suatu urusan sehingga waktu maghrib lewat sampai muncul dua bintang. Maka setelah melaksanakan shalat maghrib, beliau memerdekakan dua orang budak.
Ketika Abu Tholhah sedang shalat, di depannya lewat seekor burung lalu beliaupun melihatnya dan lalai dari shalatnya sehingga lupa sudah berapa rakaat beliau shalat. Karena kejadian tersebut, beliau menyedekahkan kebunnya untuk kepentingan orang-orang miskin sebagai sanksi atas kelalaian dan ketidak khusyuannya.
Diriwayatkan pula bahwa Tamim ad-Dari Ra. tidur semalam suntuk tanpa shalat tahajud, maka beliau mewajibkan dirinya mengisi setiap malam dengan tahajud sebagai sanksi atas kelalaiannya.
Hasan bin Hannan pernah melewati sebuah rumah yang selesai dibangun. Beliau berkata, “Kapan rumah ini dibangun?” Kemudian beliau menegur dirinya sendiri: “Kenapa kau tanyakan sesuatu yang tidak berguna untuk dirimu?! akan kujatuhkan sanksi dengan puasa setahun!”
Ada baiknya kita meneladani kisah-kisah ini dalam muhasabah diri dan menjatuhkan sanksi; jika ia menemukan kelalaiannya dalam memikul tanggung jawab atau meninggalkan kewajiban terhadap Allah dan sesama manusia. Misalnya dengan menginfakkan sejumlah uang tatkala meninggalkan shalat berjamaah, atau dengan mengerjakan beberapa rakaat shalat sunat ketika tidak mengerjakan dengan sungguh-sungguh kewajibannya.

E. Mujahadah
Dasar mujahadah adalah firman Allah dalam surat al-Ankabut ayat 69: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Makna mujahadah sebagaimana disyariatkan oleh ayat tersebut adalah: Apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunah lebih banyak dari sebelumnya. Dalam hal ini harus tegas, serius, dan penuh semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi sikap yang melekat pada dirinya.
Dalam hal ini cukuplah Rasulullah Saw. menjadi teladan yang patut diteladani sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ra.: “Rasulullah Saw. melaksanakan shalat malam hingga kedua tumitnya bengkak. Ketika Aisyah Ra. bertanya, ‘Mengapa engkau lakukan hal itu? Bukankah Allah sudah mengampuni dosamu yang sudah lalu dan yang akan datang?’ Rasulullah menjawab, ‘Bukankah sepantasnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?’.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, Aisyah Ra. berkata: “Apabila Rasulullah memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat pinggang.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam beberapa hadits, Rasulullah Saw. memerintahkan dan mendukung pelaksanaan mujahadah dalam amal ibadah. Di antara bimbingan Rasulullah Saw. mengenai mujahadah adalah: Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kusukai selai dari amalan-amalan wajib dan seorang hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melakukan amalan-amalan sunah, sehingga Aku mencintainya. Apabila aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi pendengarannya, dan sebagai tangan yang digunakannya untuk memegang dan kaki yang dia pakai untuk berjalan. Dan, apabila dia memohon maka Aku pasti mengabulkan permohanannya, dan jika berlindung kepada-Ku pasti Kulindungi’.” (HR. Bukhari).
Ruba’i bin Ka’ab Ra. berkata: “Suatu malam saya bersama Rasulullah Saw. lalu saya mengambil air wudhunya dan kebutuhan-kebutuhannya. Kemudian beliau bersabda, ‘Mintalah padaku’. Saya katakan, ‘Saya memohon agar bisa menyertai Anda di surga’. Nabi Saw. bersabda, ‘Tidakkah kau minta yang lain?’. Saya katakan, ‘Itulah permintaan saya’. Nabi Saw. bersabda, ‘Kalau begitu, tolonglah saya untuk menyelamatkan dirimu dengan banyak bersujud (melaksanakan shalat)’.” (HR. Muslim).
Berpijak dari bimbingan Nabi Saw. dalam bermujahadah dan bagaimana memaksakan diri dalam taat serta mendekatkan diri kepada Allah, maka orang-orang saleh telah menapaki jalan mujahadah dan melatih diri agar terus bisa bermujahadah. Setiap kali mereka menemukan kemalasan atau kelalaian dalam melaksanakan hak-hak Allah walau hanya berupa ibadah sunah, mereka bangkit dari kelalaiannya dengan serius dan tekad yang bulat kemudian kembali ke jalan Allah dengan penuh kekhusyuan sehingga mereka sampai ke puncak derajat yakin. Hati mereka merasakan hembusan keimanan dan di relung jiwa mereka merasakan lezatnya ibadah dan nikmatnya munajat.



















PENUTUP

Kesimpulan
• Menurut bahasa, takwa berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara diri dari siksaan Allah SWT, yaitu dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (Imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi).

• Amal ibadah itu sama, ada yang lahir maupun yang batin adalah syariat. Kita beramal dan bersyariat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk mendapat ridho, kasih sayang dan kekuasaan Allah. Untuk mendapat pemeliharaan, perlindungan dan keselamatan dari Allah. Atau dengan kata lain, untuk mendapat taqwa. Segala amalan itu untuk menambah taqwa. Kerana Allah hanya menerima ibadah dari orang-orang yang bertaqwa. Allah hanya membela, membantu dan melindungi orang-orang yang bertaqwa. Hanya orang-orang yang bertaqwa saja yang akan selamat di sisi Allah Ta’ala.

• Dari berbagai makna yang terkandung dalam taqwa, kedudukannya sangat penting dalam agama islam dan kehidupan manusia karena taqwa adalah pokok dan ukuran dari segala pekerjaan seorang muslim.

• Taqwa tidak hanya berhubungan dengan Allah swt, tetapi juga berhubungan dengan manusia dengan dirinya sendiri, antar sesama manusia, dan dengan Lingkungan Hidup.











Daftar Pustaka

• Drs. Alwirsral Imam Zaidallah : 100 khutbah jum’at kontemporer,diterbitkan oleh; penerbit KALAM MULIA,Jakarta
• Majdi Sayyid Ibrahim : 50 Nasihat Rasulullah untuk kaum WANITA (buku kedua tentang meniti jalan ke surga),diterbitkan oleh ; AL-BAYAN,Kelompok Penerbit Mizan
• Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Al-Khulaifi Khatib dan Imam Masjidil Haram : khutbah Jum’at Masjidil Haram,diterbitkan oleh; Daru’l -Ishfahan,jedah tahun 1981
• Ust. Labib Mz.: Problematika Muslimah di Era Modernisasi,di terbitkan oleh; Bintang usaha jaya,surabaya
• Departement Agama Republik Indonesia:Al’Qur’an dan Terjemahnya,1984-1985
• www.wikipedia.com
• www.cahayaimani.com
• www.google.com
• Adzikri,1 agustus 2012 (12 ramadhan 1433H)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Upaya bela negara indonesia

 MAKALAH UPAYA BELA NEGARA    DISUSUN OLEH : JOUESTER BR PASSARIBU PUTRI INDAHSARI UNIVERSITAS PAMULANG Jalan Surya Kencana No. 1, Pamulang – Tangerang Selatan Banten KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan Rahmat-Nya kami diberi kesehatan walafiat, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang menjadi mata kuliah pendidikan kewarganegaraan. Makalah yang berjudul Bela Negara merupakan aplikasi dari kami selain untuk memenuhi tugas mata kuliah tersebut juga untuk memberikan pengetahuan tentang Bela Negara tersebut. Selesainya Makalah ini tidak lepas dari kerjasama berbagai pihak,baik itu dari Dosen Pembimbing kami ataupun pihak-pihak lainnya yang turut serta membantu terselesainya Makalah ini. Kami mengucapkan banyak Terimakasih karena mereka semua lah kami mempuyai motivasi dalam menyelesaikan tugas ini. Kami berharap Makalah ini dapat bermanfaat dan memberi gambaran ataupun menjadi referensi kita dalam mengenal dan mempelajari Bela Negara bagi pe

Makalah identitas nasional yang terbaik

Daftar isi 1. DAFTAR ISI..................................................................................................1 2. KATA PENGANTAR.........................................................................................2 3. PENDAHULUAN......................................................................................................3 A. Latar Belakang.........................................................................................3 B. Perumusan Masalah.................................................................................4 4. PEMBAHASAN.......................................................................................................5 1. Pengertian Identitas Nasional.............................................................5 2. Fungsi iIdentitas Nasional...................................................................6 3. Faktor-Faktor Identitas Nasional.........................................................7